Peran Pemerintah Daerah Untuk Percepat Pengakuan Hutan Adat

Peran Pemerintah Daerah Untuk Percepat Pengakuan Hutan Adat

KlikKarawang - Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat masih minim di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir, kurang dari 50.000 hektar hutan adat mendapatkan penetapan dari 9,3 juta hektar pemetaan partisiatif yang diserahkan Badan Registrasi Wilayah Adat. Untuk itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diminta lebih aktif demi percepatan ini.

”Secara konstitusi, penetapan mengenai subyek hukum itu ada di (pemerintah) daerah. Jika tak ada peran pemda, tak jadi barang ini,” kata Noer Fauzirachman, pakar agraria pada rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat di Jakarta, baru-baru ini.

Dalam penetapan hutan adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlu dukungan pemerintah daerah.

Peran pemerintah daerah, katanya, jadi sangat penting dalam pengakuan hak masyarakat adat dan simpul negosiasi. Jadi, katanya, perlu komitmen dan kemauan politik pemda.

Dalam rakornas yang diikuti pemerintah pusat, juga pemerintah daerah dan pendamping masyarakat ini mulai menginventarisasi wilayah adat untuk melihat potensi.

KLHK pun akan mencadangkan usulan hutan adat dalam peta kehutanan. Tujuannya, mempercepat dan mengurangi risiko konflik maupun mengamankan wilayah agar tak terbebani izin.

Kini, sudah ada 40 peraturan daerah mengatur masyarakat adat, baik peraturan daerah, peraturan gurbernur, peraturan wali kota/bupati dan keputusan kepala daerah. Baru dua wilayah sudah lengkap peta wilayah adat, yakni Perda Kabupaten Lebak, Banten Nomor 8 Tahun 2015 dan SK Bupati Sigi, Sulawesi Tengah, Nomor 189.1-521 Tahun 2015.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan dan Kehutanan sudah membicarakan mengenai percepatan perhutanan sosial lewat Kementerian Dalam Negeri. “Agar, energi sosial untuk perhutanan sosial dan partisipasi pemda jadi lebih aktif.” 

Usulan hutan adat

Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK, menyebutkan, dari 9,3 juta hektar peta partisipatif terdiri 777 peta usulan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sebanyak 6,3 juta hektar kawasan hutan. Dari jumlah itu, usulan siap verifikasi ada 12 seluas 21.331 hektar, tersebar dari Aceh sampai Sulawesi Selatan.

Ada usulan 2,2 juta hektar dari 152 klaim hutan adat, 28 klaim seluas 107.203 hektar sudah memenuhi syarat sebagai calon hutan adat dengan syarat yang terpenuhi dan siap verifikasi dan validasi lapangan.

“Ada 107.203 hektar (yang berpotensi didorong mendapatkan surat keputusan pencadangan),” katanya.

Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, angka 9,3 juta hektar, akan terus bertambah seiring pemetaan dan verifikasi lapangan.

Dia mendukung Menteri LHK segera mencadangkan hutan adat yang diusulkan baik BRWA maupun kelompok masyarakat sipil. Inventarisasi data pencadangan ini, katanya, bisa bertahap.

”Harapannya, pemerintah daerah punya peran aktif memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat.”

Tak hanya pengakuan, katanya, tetapi pemda juga pemetaan dan aktif mengajukan usulan kepada KLHK. Kasmita menyadari, proses penetapan hutan adat tak bisa sendiri-sendiri.

Dalam rakornas itu, region Sumatera mengidentifikasi usulan hutan adat terdiri dari 449.709 hektar (berdasarkan BRWA) tersebar dari Aceh hingga Bengkulu, sebesar 87.404 hektar—usulan koalisi masyarakat sipil– berada di Pidie.

Ada juga di Kabupaten Dharmasraya, lokasi berada di areal penggunaan lain dengan tutupan lahan bagus namun berada di tengah-tengah perkebunan sawit. Fungsi ekosistem sangat penting bagi masyarakat untuk segera jadi hutan adat.

Ricardo Simamarta, perwakilan dari Region Sumatera mengingatkan, perlu kehati-hatian dalam penetapan hutan adat. Dia contohkan, dalam konsolidasi Region Sumatera, Kabupaten Seluma, Bengkulu, hutan adat tersisa 40% hutan pinus dan sawit. ”Ini temuan dari kajian Universitas Bengkulu. Sudah banyak pendatang, disarankan agar diperhatikan pranata adat masih berfungsi atau tidak.”

Untuk region Kalimantan, terdiri atas 278 poligon wilayah adat dengan luasan mencapai 3.633.246 hektar. Tak terelakkan, banyak wilayah tumpang tindih dengan perizinan.

Wilayah adat yang tak tumpang tindih dengan perizinan, katanya, antara lain di Kalimantan Barat 63 dari 176 poligon, Kalimantan Selatan 36 dari 43 poligon. Lalu Kalimantan Timur satu dari 10 poligon, Kalimantan Tengah 19 dari 39, dan Kalimantan Utara satu dari delapan poligon.

Region Sulawesi, usulan BRWA memiliki luasan 859.533 hektar tersebar di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Dari koalisi masyarakat sipil mengusulkan 46.636 hektar di Mamuju dan Mamasa. Sedangkan, Maluku dan Papua usulan 1.145.383 hektar.

Untuk region Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara usulan 117.944 hektar. Meski demikian, katanya, NTB belum miliki perda masyarakat hukum adat. Di NTT, baru Ende punya Perda No 2/2017 tentang Penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Tumpang tindih

Berdasarkan laporan masing-masing region, banyak wilayah masyarakat adat terbebani izin baik di kawasan hutan maupun APL.

Menurut Siti, wilayah berkonflik dengan korporasi berizin akan lakukan mediasi. ”Pemerintah jadi simpul negosiasi dalam segala kepentingan. Kita lihat seperti apa yang bisa diselesaikan,” katanya.

Dia berharap, melalui perhutanan sosial jadi salah satu solusi proses penyelesaian konflik.

Bambang membenarkan, kalau usulan hutan adat di wilayah berizin untuk penetapan bakal memakan waktu. ”Kami berpihak pada rakyat, tetapi tak menghilangkan yang sudah terjadi. Jangan sampai malah menimbulkan masalah baru.”

Bambang juga akan menagih, sesuai aturan yang mewajibkan alokasi 20% konsesi untuk masyarakat (baru dalam konsesi usaha kehutanan). Aturan serupa juga akan ditegaskan pemerintah dalam kebijakan moratorium sawit.

Sebanyak 55% hutan kita adalah hutan produksi, hampir dapat dipastikan sebagian besar hutan adat ada di hutan produksi,” kata Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Setengah luasan hutan produksi sudah terbebani izin.

Berdasarkan hasil identifikasi usulan hutan adat, 379 wilayah hutan adat ada di hutan produksi pada 24 provinsi dengan luasan 3,2 juta hektar. Untuk di areal izin pemanfaatan hasil hutan, ada 275 usulan hutan adat di izin pemanfaatan hasil hutan di hutan produksi dengan luas 1,7 juta hektar.

”Jika tumpang tindih dengan izin, dilakukan pengurangan areal kerja IUPHHK atau jadi sebagai mitra pemegang izin,” katanya. Dia mengacu Permen LHK No 45 tahun 2016 soal tata cara perubahan luasan areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi.

Sedangkan, kalau tak terbebani izin atau tak tumpang tindih, hutan adat jadi penapis dalam proses pemberian izin di kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.

Suryo Adi Wibowo memprediksi, dari usulan pemetaan, 40-50% masih terbebani beberapa hal, seperti belum ada peraturan daerah, SK Bupati, tumpang tindih denga izin dan lain-lain.

Dia berharap, pada wilayah bersih (clean and clear), pemerintah pusat segera penetapan. Buat wilayah terbebani izin, perlu penyelesaian dulu.

Pada pertemuan rakornas hutan adat ini mengumpulkan permasalahan dan mendata kembali usulan-usulan hutan adat pada tingkat tapak. Usulan ini, kemudian diverifikasi dan kalau bersih akan dicadangkan sebagai hutan adat.